MUNASABAH AL-QUR’AN
1.
PENDAHULUAN
Sejumlah
pengamat Barat memandang Al-Qur’an sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan
diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransmen kitab ini pada umum nya menimbulkan
masalah khusus bagi mereka. Sekalipun bahasa arab yang digunakan dapat
dipahami, terdapat bagian-bagian didalamnya yang sulit dipahami. Kaum muslim
sendiri, membutuhkan banyak tafsir dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
Al-Qur’an untuk memahaminya. Sekalipun demikian, masih diakui bahwa berbagai
kitab itu masih menyisakan persoalan terkait dengan belum semuanya mampu
mengungkap rahasia Al-Qur’an dengan sempurna.
Kitab suci
Al-Qur’an diturunkan selama 22 tahun lebih beberapa bulan. Kitab berisi berbagai
macam petunjuk dan peraturan yang disyari’atkan karena berbagai sebab dan
hikmah yang bermacam-macam. Ayat-ayat nya diturunkan sesuai dengan situasi dan
kondisi yang membutuhkan. Susunan ayat-ayat dan surah-surahnya diterbitkan
sesuai dengan yang terdapat dalam lauhul mahfudz, sehingga tampak adanya
persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat yang lain dan antara surah yang
satu dengan surah yang lain.
Karena itu, timbul cabang dari ulumul Qur’an yang khusus membahas
persesuaian ayat-ayat tersebut, yaitu yang disebut ilmu munasabah atau ilmu
tanasubil ayati was suwari. Orang pertama yang menulis ilmu munasabah ini
ialah Imam Abu Bakar An-Naisaburi (324
H), kemudian disusul oleh Abu Ja’far Ibnuz Zubair.
Ilmu munasabah
merupakan bagian dari ilmu-ilmu Al-Qur’an yang posisinya sangat penting dalam
rangka menjadikan keseluruhan ayat Al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik).
Hal ini karena satu ayat dengan yang
lainnya memiliki keterkaitan, sehingga bisa saling menafsirkan. Dengan demikian
Al-Qur’an adalah kesatuan yang utuh yang jika dipahami sepotong-sepotong akan
terjadi model penafsiranyangatomistik.
2.
RUMUSAN MASALAH
a.
Pengertian
dan pembahasan Munasabah
b.
Dasar-dasar
pemikiran mengenai Munasabah
c.
Macam-macam
Munasabah
d.
Faedah
ilmu munasabah
3.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan pembahasan Munasabah
a.
Pengertian
munasabah
Kata “munasabah” secara etimologis berarti “musyakalah” (keserupaan)
dan kata “muqarabah” (kedekatan). Adapun menurut terminologis para ahli
mendefiniskan nya sebagai berikut:
1.
Al-Zarkasyi
Menurut Al-Zarkasyi, munasabah adalah mengaitkan bagian-bagian
permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau
hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat, dan ma’lul.
Kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia
mengatakan bahwa kegunaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam
saling berkait sehingga penyusunannya seperti bangunan yang kokoh yang
bagian-bagiannya tersusun harmonis”.
2.
Al-Qaththan
Munasabah adalah menghubungkan antara jumlah dengan jumlah dalam
suatu ayat, atau antara ayat dengan ayat pada sekumpulan ayat, atau antar surah
dengan surah.
3.
Ibnu
Al-Farabi
Munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga
seolah-olah satu ungkapan yang mempunyai satu kesatuan makna dan keteraturan
redaksi.[1]
4.
Al-Biqa’i
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alsan-alasan
dibalik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat
ataupun surat dengan surat.[2]
Secara terminologi (istilah) munasabah didefinisikan sebagai
ilmu yang membahas hikmah korelasi urutan ayat Al-Qur’an atau dalam redaksi
yang lain, dapat dikatakan munasabah adalah usaha pemikiran manusia
dalam menggali rahasia hubungan antar ayat dengan ayat atau antar surah dengan
surah yang dapat diterima oleh rasio, dengan demikian ilmu ini diharapkan dapat
menyingkap rahasia illahi, sekaligus sanggahan-Nya terhadap mereka yang
meragukan keberadaan Al-Qur’an sebagai wahyu.[3]
Rumusan lain mengatakan bahwa, munasabah adalah ilmu yang menjelaskan
persesuaian antara ayat dengan ayat atau antar surah dengan surah lain,
sehingga dapat diketahui alasan penertiban ayat-ayat dan atau surah-surah dalam
Al-Qur’an tersebut.
Berdasarkan pengertian diatas dapat dikatakan bahwa ilmu
al-munasabah adalah bersifat ma’qul (rasional), sesuai dengan ungkapan
Munasabah adalah
suatu hal yang rasional , apabila dihadapkan pada akal niscaya dia akan
menerimanya.
Atas dasar itulah-sebagaimana telah dikemukakan diatas-ilmu ini
berupaya menjelaskan segi-segi korelasi antar ayat-ayat dan antar surah-surah dalam
Al-Qur’an, baik korelasi iitu berupa ikatan antara yang ‘am (umum)
dengan yang khas (khusus), antara yang abstrak dengan yang kongkrit,
antara sebab dengan akibat antara ‘illat dengan ma’lulnya, antara yang rasional
dengan yang irrasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiktif.[4]
Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak ada
hubungan sama sekali antara ayat ayat
yang satu dengan ayat yang lain, baik dengan yang sebelumnya, maupun dengan
ayat yang sesudahnya. Karena itu, tampaknya ayat-ayat itu seolah-olah terputus
dan terpisah yang satu dari yang lain, seperti tidak ada kontaknya sama sekali.
Tetapi kalau diamati secara teliti, akan tampak adanya munasabah atau kaitan
yang erat antara yang satu dengan yang lain.
Karena itu ilmu munasabah merupakan ilmu yang penting, karena ilmu
itu bisa mengungkapkan rahasia kebalaghahan Al-Qur’an dan menjangkau sinar
petunjuknya.[5]
b.
Pembahasan
ilmu munasabah
Pembahasan ilmu munasabah ini terkait dengan baian-bagian Ulumul
Qur’an, baik ayat-ayat ataupun surah-surah nya yang satu dengan yang lain
persesuaian dan persambungannya. Sebab, hubungan dan persambungan dari
bagian-bagian Al-Qur’an itu bermacam-macam. Ada yang berupa hubungan antar
makna umum dan khusus, atau hubungan pertalian (talazum).
Jadi, ringkasnya pembahasan Ilmu Munasabah atau Ilmu Tanaaubul Ayat
Was Suwar ini ialah macam-macam hubungan dan peersambungan, serta kaitan antara
ayat-ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang lain, dan antara surah yang satu
dengan surah yang lain, dalam berbagai bentuk persesuaian dan persambungan.
B.
Dasar-dasar
adanya munasabah diantara ayat-ayat atau surat-surat Al-Qur’an
Asy-syatibi menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung
banyak masalah, namun massalah-masalah tersebut berkaitan satu dengan yang
lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan mengarahkan pandangan pada awal
surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat, atau sebaliknya. Karena
bila tidak demikian akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.
“Tidak
dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan,
kecuali pada saat itu ia bermaksud untuk memahami arti lahiriyyah dari satu
kosa kata menurut tinjauan etimologis, bukan maksud si pembicara. Kalau arti
tersebut tidak dipahaminya, maka ia harus segera memperhatikan seluruh pembicaraan
dari awal hingga akhir”.[6]
C.
Macam-macam
Munasabah
Munasabah atau persesuaian bagian Al-Qur’an yang satu dengan yang
lain itu bisa bermacam-macam, jika dilihat dari berbagai seginya, baik dari
segi sifat-sifat nya dan materinya.
1.
Sifat
Dilihat
dari segi sifatnya terbagi menjadi dua, yaitu:
a.
Zahir
Al-irtibath, yaitu
persesuaian atau kaitan yang tampak jelas, karena kaitan kalimat yang satu
dengan kalimat yang lain erat sekali sehingga yang satu tidak bisa menjadi
kalimat yang sempurna bila dipisahkan dengan kalimat yang lainnya, seolah-olah
ayat tersebut merupakan satu kesatuan yang sama. Misalnya dapat kita cermati
ayat 1 dan ayat 2 surat Al-isra’
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا
مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا
حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya
pada suatu malam dari Al Masjidil haram ke Al Masjidil aqsa yang telah Kami
berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
(Al-Isra’[17]:1
وَآتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِبَنِي
إِسْرَائِيلَ أَلا تَتَّخِذُوا مِنْ دُونِي وَكِيلا
Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami
jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israel (dengan firman):
"Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku, . (Al-Isra’[17]:2
Munasabah antara kedua ayat tersebut tampak jelas,
yaitu bahwa kedua Nabi (Muhammad SAW dan Musa a.s) diangkat oleh Allah SWT sebagai
Nabi dan Rasul, dan keduanya di isra’kan. Nabi Muhammad dari Masjid Haram ke
Masjid Aqsa, sedangkan Nabi Musa dari Mesir ketika ia keluar dari negeri
tersebut dalam keadaan ketakutan menuju Madyan.
b.
Khafiy
Al-Irtibath, yaitu
persesuaian atau kaitan yang samar antara ayat yang satu dengan ayat yang lain
sehingga tidak tampak adanya hubungan antara keduanya, bahkan seolah-olah
masing-masing surah/ayat itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang
satu itu di’athafkan kepada yang lain maupun karena yang satu
bertentangan dengan yang lain. Misalnya dapat kita lihat surah Al-Baqarah ayat
189 dan 190:
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ.
Artinya:
“Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.”(Al-Baqarah[2]:189)
Ayat
tesebut menerangkan bulan sabit / tanggal-tanggal untuk tanda-tanda waktu dan
untuk jadwal ibadah haji.
Sedang
ayat 190 surat Al-Baqarah berbunyi:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا
تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya:
Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas. (Al-Baqarah[2]:190)
Ayat tersebut menerangkan
perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat islam. Sepintas
antara kedua ayat tersebut tidak ada hubungannya atau hubungan yang satu dengan
yang lainnya samar. Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut,
yaitu ayat 189 surat Al-Baqarah mengenai soal waktu untuk haji, seedang ayat
190 surat Al-Baqarah menerangkan : sebenarnya, waktu haji itu umat islam
dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka
serangan-serangan musuh itu harus dibalas walaupun pada musim haji.[7]
Contoh
lain dari jenis munasabah ini dapat disimak dalam firman Allah :
افَلا يَنْظُرُونَ إِلَى الإبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ
وَإِلَى الأرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
Maka
apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit,
bagaimana ia ditinggikan, Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?, Dan bumi
bagaimana ia dihamparkan? Q.S. (8):17-20.
Jika diperhatikan, ayat-ayat diatas
sepertinya “terputus-putus”, tidak terkait satu dengan yang lain, padahal
hakikatnya saling berkaitan. Penyebutan dan penggunaan kata unta, langit,
gunung dan bumi pada ayat-ayat tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan yang
berlaku dikalangan lawan bicara yan g tinggal dipadang pasir, dimana kehidupan
mereka sangat bergantung pada ternak unta. Namun keadaan seperti itu tidak
mungkin akan berlangsung kecuali bila ada air yang dapat menumbuhkan rumput
ditempat mereka menggembala disamping air untuk minuman untanya. Kesemuanya ini
akan dapat terjadi apabila hujan turun. Inilah yang menyebabkan wajah mereka
selalu menengadah kelangit. Selain itu
mereka memerlukan tempat berlindung atau berteduh dibukit-bukit gunung.
Selanjutnya mereka mencari rerumputan dan air dengan cara berpindah-pindah
tempat dihamparan bumi yang luas. Disinilah letak keterkaitan antar ayat yang
satu dengan ayat yang lain surat al-ghasyiah diatas. Dengan demikian, maka
apabila penghuni padang pasir mendengar ayat-ayat tersebut mereka akan menyatu
dengan apa yang mereka saksikan sendiri yang pada mulanya tidak pernah terbenak
dalam bayang mereka. [8]
2.
Materi
Ditinjau dari segi materinya, maka munasabah
itu ada dua macam yaitu: munasabah antar ayat dan munasabah antar
surat
a.
Munasabah
antar ayat, yaitu munasabah atau persambungan antar yang satu dengan ayat yang
lain. Munasabah ini bisa berbentuk persambungan-persambungan, meliputi:,
pertama diathafkannya ayat yang satu pada ayat yang lain, kedua tidak di
‘athafkannya, ketiga digabungkannya dua hal yang sama, keempat dikumpulkannya
dua hal yang kontradiksi, kelima dipindahkannya satu pembicaraan ke pembicaraan
lain. Munasabah antar ayat dapat dilihat misalnya antara ayat 2 dan ayat 3
surat Al-Baqarah :
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Kitab
(Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa
(Al-Baqarah[2]:2)
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَوَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka (Al-Baqarah[2]:3)
Munasabah antar kedua ayat tersebut
adalah ayat yang pertama menjelaskan peranan Al-Qur’an dan hakikatnya bagi
orang-orang yang bertaqwa, sedangkan ayat kedua menjelaskan karaakteristik dari
orang yang bertakwa.
Munasabah
antar ayat mencakup beberapa bentuk yaitu:
1.
Munasabah
antar nama surah dan tujuan turunnya
Setiap
surah mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya
masing-masing, seperti surat Al-Baqarah (2), dan surah yusuf (18), surah
An-Naml (27), dan surah jinn(72). Seperti dapat dilihat pada firman Allah
berikut:
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina".
Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?"
Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah
seorang dari orang-orang yang jahil".(Al-Baqarah[2]:67)
Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar
Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu." Musa menjawab:
"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina
yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu".(Al-Baqarah[2]:68)
Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar
Dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab:
"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina
yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang
memandangnya."
(Al-Baqarah[2]:69)
Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar
Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena
sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah
akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." (Al-Baqarah[2]:70)
Cerita yang ada pada ayat tersebut adalah
tentang lembu betina (Al-Baqarah) yang
selanjutnya dijadikan nama surah, yaitu surah Al-Baqarah (surah kedua dalam
Al-Qur’an). Cerita tersebut mengandung inti pembicaraan tentang kekuasaan Allah
yang membangkitkan orang mati. Dengan perkataan lain, tujuan surah ini
berkaitan dengan kekuasaan Tuhan dan keimanan pada hari kemudian,sedangkan
salah satu bukti keimanan orang-orang dalam surah itu haryus ditunjukan dengan
sikap taat dan melaksanakan perintah Allah dengan ikhlas melalui Rasul Nya,
yaitu Musa antara lain dengan penyembelihan sapi.
2.
Munasabah
antar bagian surah
Munasabah
antar bagian surah (ayat atau beberapa ayat) sering berbentuk korelasi
al-tadhaadadh (perlawanan) seperti terlihat pada firman Allah berikutini :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ
مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ
أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian
Dia bersemayam di atas 'Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan
apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik
kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan (Al-Hadid[57]:4)
Pada ayat tersebut pada
ayat tersebut tedapat kata ”yaliju” (masuk) dan kata “yakhruju” (keluar), serta kata “yanzilu” (turun) dan kata “ya’ruju” (naik) yang
memiliki korelasi berlawanan. Contoh lainnya adalah kata Al-‘adzab dan
Ar-rahmah dan janji baik setelah ancaman.
3.
Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan
Munasabah antar ayat
yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jela, tetapi sering pula
tidak jelas. Munasanah antar ayat yang terlihat jelas umumnya menggunakan pola ta’kid
(penguatan), tafsir (penjelasan), i’tiradh (bantahan), dan tasydid
(penegasan).
Munasabah antar ayat yang mengguinakan pola ta’kid,yaitu
apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat
yang terletak disampingnya. Mislanya pada firman Allah :
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
(Al-Fatihah[1]:1)
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (Al-Fatihah[1]:2)
Ungkapan Rabb
al’alamin pada ayat kedua memperkuat kata Al-Rahman pada ayat
pertama.
Munasabah antar ayat menggunakan pola tafsir apabila makna
ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan oleh ayat atau bagian ayat
disampingnya. Misalnya pada firman Allah:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertakwa (Al-Baqarah[2]:2)
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ
الصَّلاةَوَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan
shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka
(Al-Baqarah[2]:3)
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا
أُنْزِلَمِنْ قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah
diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta
mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat (Al-Baqarah[2]:4)
Kata “Muttaqin” pada ayat diatas ditafsirkan maknanya oleh ayat
ketiga dan keempat. Dengan demikian, orang yang bertaqwa adalah orang-orang
yang mengimani hal-hal ghaib, mengerjakan sholat, menafkahkan sebagian rezki,
beriman kepada Al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya. Munasabah antar ayat
menggunakan pola i’tiraddh apabila terdapat satu kalimat atau lebih yang
tidak ada kedudukannya dalam i’rab (struktur kalimat), baik pertengahan
kalimat atau diantara dua kalimat yang berhubungan dengan maknanya. Misalnya
pada firman Allah:
وَيَجْعَلُونَ لِلَّهِ الْبَنَاتِ سُبْحَانَهُ وَلَهُمْ
مَايَشْتَهُونَ
Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci
Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai
(yaitu anak-anak laki-laki).(An-Nahl[16]:57)
Kata “subhanahu” pada ayat diatas merupakan bentuk i’tiradh
dari dua ayat yang mengantarnya. Kata itu merupakan bantahan bagi klaim
orang-orang kafir yang menetapkan anak
perempuan bagi Allah.
4.
Munasabah antara satu kelompok ayat dengan kelompok ayat ayat
disampingnya.
Dalam surah Al-Baqarah
ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah memulai penjelasannya tentang kebenaran
dan fungsi Al-Qur’an bagi orang-orang bertaqwa. Dalam kelompok ayat berikutnya
dibicarakan tentang tiga kelompok manusia dan sifat mereka yang berbeda-beda,
yaitu mukmin, kafir, dan munafiq.
5.
Munasabah antara fashilah dan isi ayat.
Munasabah ini mengandung tujuan tertentu. Diantaranya menetapkan
(tamkin) makna yang terkandung dalam ayat. Misalnya:
إِنَّكَ لا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلا تُسْمِعُ الصُّمَّ
الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ
Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati
mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar
panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang (An-Naml[27]:80)
Kalimat idza wallau mudbirin merupakan penjelasan tambahan
terhadap makna orang tuli.
6.
Munasabah antara awal dengan akhir surah yang sama.
Munasabah ini arti
bahwa awal suatu surah menjelaskan pokok pikiran tertentu, lalu pokok pikiran
ini dikuatkan kembali diakhir surah ini. Misalnya terdapat pada surah Al-Hasyr.
Munasabah ini terletak dari sisi kesamaan kondisi, yaitu segala yang ada baik
dilangit maupun dibumi menyucikan Allah sang pencipta keduanya.
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِيالأرْضِ
وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Al-Hasyr[59]:1)
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ
الأسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ
الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk
Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang
ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(Al-Hasyr[59]:24)[9]
b.
Munasabah antar surah
Munasabah antar
surah yaitu munasabah atau persambungan antara surah yang satu dengan surah
yang lain. Munasabah kedua ini ada beberapa bentuk, sebagai berikut:
1.
Munasabah antar dua surah dalam soal materinya, yaitu materi surah
yang satu sama dengan materi surah yang lain.
Contohnya, seperti surah kedua, Al-Baqarah sama dengan isi surah
yang pertama, Al-Fatihah. Keduanya sama-sama menerangkan 3 hal kandungan
Al-Qur’an yaitu masalah akidah, ibadah, muamalah, kisah, janji dan ancaman.
Dalam surah Al-Fatihah semua itu diterangkan secara ringkas, sedang dalam surah
Al-Baqarah dijelaskan dan dirinci secara panjang lebar.
2.
Persesuaian antara permulaan surah dengan penutupan surah
sebelumnya. Sebab, semua pembukaan surah itu erat sekali kaitannya dengan
akhiran dari surah sebelumnya, sekalipun sudah dipisahkan dengan basmalah.
Contohnya seperti awalan dari surah Al-An’am yang berbunyi:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضَ
Artinya:
“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi”
Awalan dari surah Al-An’am tersebut sesuai dengan akhiran surah
Al-Ma’idah yang berbunyi:
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا فِيهِنَّ وَهُوَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya:
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di
dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Dan seperti awalan surah Al-Hadid yang berbunyi:
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ َ
Artinya:
“Semua yang berada dilangit dan dibumi.”
Awalan surah Al-Hadid tersebut sesuai dengan akhiran surah
Al-Waqi’ah:
فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ
Artinya:
“maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Maha Besar”
3.
Persesuaian antara pembukaan dan akhiran sesuatu surah. Sebab,
semua ayat dari sesuatu surah dari awal sampai akhir itu selalu bersambungan
dan bersesuaian.
Contohnya seperti persesuaian antara awal surah Al-Baqarah:
الم. ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى
لِلْمُتَّقِينَ
Artinya:
“Alif Laam Miim, Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertakwa”
Awal surah Al-Baqarah
tersebut sesuai dengan akhirannya yang memerintahkan supaya berdoa agar tidak
disiksa, bila lupaatau bersalah:
وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ
مَوْلانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Artinya:
“Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".
Dan persesuaian antara awal surah Al-Mukminun قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ yang menjanjikan orang yang beriman itu
akan berbahagia, dengan akkhiran surah tersebut: إِنَّهُ
لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
yang menegaskan bahwa orang-orang yang tidak beriman itu tidak akan
bahagia.[10]
D.
Faedah
ilmu munasabah
Faedah mempelajari ilmu munasabah
ini banyak, antaranya sebagai berikut:
a.
Mengetahui
persambungan / hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat-kalimat
atau ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih
memperdalam pengetahuan dan ppengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat
keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatanya. Karena itu, Izzudin Abd. Salam
mengatakan, bahwa ilmu munasabah itu adalah ilmu yang baik sekali. Ketika
menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain, beliau mensyaratkan
harus jatuh pada hal-hal yang berkaitan betul-betul baik diawal ataupun
diakhirnya.
b.
Dengan
ilmu munasabah itu, dapat diketahui mutu dan tingkat kebalaghahan bahasa
Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimat nya yang satu dengan yang lain, serta
persesuaian ayat/ surah nya yang satu dari yang lain, sehingga lebih meyakinkan
kemukjizatannya, nahwa Al-Qur’an itu betul-betul wahyu dari Allah SWT, dan
bukan buatan Nabi Muhammad SAW. Karena itu Imam Fakhruddin Ar-Razi mengatakan,
bahwa kebanyakan keindahan-keindahan Al-Qur’an itu terletak pada susunan dan
persesuaian nya,sedangkan susunan kalimat yang paling baligh (bersastra) adalah
yang saling berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
c.
Dengan
ilmu munasabah akan sangat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an,
setelah diketahui hubungan sesuatu kalimat / sesuatu ayat dengan kalimat / ayat
lain, sehingga sangat mempermudah pengistimbathan hukum-hukum atau isi
kandungannya. [11]
E.
KESIMPULAN
Ilmu Munasabah adalah ilmu yang
mempelajari persesuaian dalam Al-Qur’an baik persesuaian antara ayat yang satu
dengan ayat yang lain, ataupun antara surah yang satu dengan surah yang lain.
Munasabah berdasarkan sifatnya
dibedakan menjadi dua yaitu : dzahirul irtibath (persesuaian yang
tampak), dan kafiyul irtibath (persesuaian yang tidak nampak jelas).
Sedangkan berdasarkan materinya dibedakan menjadi munasabah antar ayat dan
munasabah antar surah didalam Al-Qur’an.
F.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapatsaya
paparkan tentang munasabah Al-Qur’an, semoga dapat bermanfaat.
Tentunya makalah ini tidak terlepas
dari kesalahan maupun kekurangan dalam materi, untuk itu kritik dan saran yang
membangun sangat say butuhkan demi perbaikan makalah yang selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
·
Usman,
Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2009
·
Djalal,
Abdul, ‘Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2008
·
Hermawan,
Acep, Ulumul Quran, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011
[1]
Acep Hermawan, M.Ag, ‘Ulumul Qur’an, (Bandung:, PT.Remaja Rosadakarya, 2011), hal.122
[2]
http://fzil.wordpress.com/2012/05/03/munasabah-alquran/
[3]
Dr. Usman, M.Ag, Ulumul Quran, (Yogyakarta:penerbit Teras, 2009), hal.162
[4]
Ibid.hal.163
[5]
Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, Ulumul Quran, (Surabaya, Dunia Ilmu, 1998),hal.
[7]
Acep Hermawan, M.Ag, op.cit hal.125-126
[8]
Dr. Usman, M.Ag, op.cit hal.179-180
[9]
Acep Hermawan, M.Ag, op.cit hal.126-131
[10]
Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, hal.161-164
[11]
Prof. Dr. H. Abdul Djalal , op.cit hal.164-165
0 komentar :
Posting Komentar