Rabu, 16 Oktober 2013


MUNASABAH AL-QUR’AN
1.     PENDAHULUAN
Sejumlah pengamat Barat memandang Al-Qur’an sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransmen kitab ini pada umum nya menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Sekalipun bahasa arab yang digunakan dapat dipahami, terdapat bagian-bagian didalamnya yang sulit dipahami. Kaum muslim sendiri, membutuhkan banyak tafsir dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an untuk memahaminya. Sekalipun demikian, masih diakui bahwa berbagai kitab itu masih menyisakan persoalan terkait dengan belum semuanya mampu mengungkap rahasia Al-Qur’an dengan sempurna.
Kitab suci Al-Qur’an diturunkan selama 22 tahun lebih beberapa bulan. Kitab berisi berbagai macam petunjuk dan peraturan yang disyari’atkan karena berbagai sebab dan hikmah yang bermacam-macam. Ayat-ayat nya diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkan. Susunan ayat-ayat dan surah-surahnya diterbitkan sesuai dengan yang terdapat dalam lauhul mahfudz, sehingga tampak adanya persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat yang lain dan antara surah yang satu dengan surah yang lain.
Karena itu, timbul cabang dari ulumul Qur’an yang khusus membahas persesuaian ayat-ayat tersebut, yaitu yang disebut ilmu munasabah atau ilmu tanasubil ayati was suwari. Orang pertama yang menulis ilmu munasabah ini ialah Imam Abu Bakar  An-Naisaburi (324 H), kemudian disusul oleh Abu Ja’far Ibnuz Zubair.
Ilmu munasabah merupakan bagian dari ilmu-ilmu Al-Qur’an yang posisinya sangat penting dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat Al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Hal ini karena   satu ayat dengan yang lainnya memiliki keterkaitan, sehingga bisa saling menafsirkan. Dengan demikian Al-Qur’an adalah kesatuan yang utuh yang jika dipahami sepotong-sepotong akan terjadi model penafsiranyangatomistik.

2.     RUMUSAN MASALAH
a.      Pengertian dan pembahasan Munasabah
b.     Dasar-dasar pemikiran mengenai Munasabah
c.      Macam-macam Munasabah
d.     Faedah ilmu munasabah

3.     PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan pembahasan Munasabah
a.      Pengertian munasabah
Kata “munasabah” secara etimologis berarti “musyakalah” (keserupaan) dan kata “muqarabah” (kedekatan). Adapun menurut terminologis para ahli mendefiniskan nya sebagai berikut:
1.     Al-Zarkasyi
Menurut Al-Zarkasyi, munasabah adalah mengaitkan bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat, dan ma’lul. Kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kegunaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”.
2.     Al-Qaththan
Munasabah adalah menghubungkan antara jumlah dengan jumlah dalam suatu ayat, atau antara ayat dengan ayat pada sekumpulan ayat, atau antar surah dengan surah.
3.     Ibnu Al-Farabi
Munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah satu ungkapan yang mempunyai satu kesatuan makna dan keteraturan redaksi.[1]
4.     Al-Biqa’i
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alsan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat ataupun surat dengan surat.[2]
Secara terminologi (istilah) munasabah didefinisikan sebagai ilmu yang membahas hikmah korelasi urutan ayat Al-Qur’an atau dalam redaksi yang lain, dapat dikatakan munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar ayat dengan ayat atau antar surah dengan surah yang dapat diterima oleh rasio, dengan demikian ilmu ini diharapkan dapat menyingkap rahasia illahi, sekaligus sanggahan-Nya terhadap mereka yang meragukan keberadaan Al-Qur’an sebagai wahyu.[3]
Rumusan lain mengatakan bahwa, munasabah adalah ilmu yang menjelaskan persesuaian antara ayat dengan ayat atau antar surah dengan surah lain, sehingga dapat diketahui alasan penertiban ayat-ayat dan atau surah-surah dalam Al-Qur’an tersebut.
Berdasarkan pengertian diatas dapat dikatakan bahwa ilmu al-munasabah adalah bersifat ma’qul (rasional), sesuai dengan ungkapan

Munasabah adalah suatu hal yang rasional , apabila dihadapkan pada akal niscaya dia akan menerimanya.

Atas dasar itulah-sebagaimana telah dikemukakan diatas-ilmu ini berupaya menjelaskan segi-segi korelasi antar ayat-ayat dan antar surah-surah dalam Al-Qur’an, baik korelasi iitu berupa ikatan antara yang ‘am (umum) dengan yang khas (khusus), antara yang abstrak dengan yang kongkrit, antara sebab dengan akibat antara ‘illat dengan ma’lulnya, antara yang rasional dengan yang irrasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiktif.[4]
Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak ada hubungan sama sekali  antara ayat ayat yang satu dengan ayat yang lain, baik dengan yang sebelumnya, maupun dengan ayat yang sesudahnya. Karena itu, tampaknya ayat-ayat itu seolah-olah terputus dan terpisah yang satu dari yang lain, seperti tidak ada kontaknya sama sekali. Tetapi kalau diamati secara teliti, akan tampak adanya munasabah atau kaitan yang erat antara yang satu dengan yang lain.
Karena itu ilmu munasabah merupakan ilmu yang penting, karena ilmu itu bisa mengungkapkan rahasia kebalaghahan Al-Qur’an dan menjangkau sinar petunjuknya.[5]

b.     Pembahasan ilmu munasabah
Pembahasan ilmu munasabah ini terkait dengan baian-bagian Ulumul Qur’an, baik ayat-ayat ataupun surah-surah nya yang satu dengan yang lain persesuaian dan persambungannya. Sebab, hubungan dan persambungan dari bagian-bagian Al-Qur’an itu bermacam-macam. Ada yang berupa hubungan antar makna umum dan khusus, atau hubungan pertalian (talazum).
Jadi, ringkasnya pembahasan Ilmu Munasabah atau Ilmu Tanaaubul Ayat Was Suwar ini ialah macam-macam hubungan dan peersambungan, serta kaitan antara ayat-ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang lain, dan antara surah yang satu dengan surah yang lain, dalam berbagai bentuk persesuaian dan persambungan.

B.    Dasar-dasar adanya munasabah diantara ayat-ayat atau surat-surat Al-Qur’an
Asy-syatibi menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak masalah, namun massalah-masalah tersebut berkaitan satu dengan yang lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat, atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.
“Tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan, kecuali pada saat itu ia bermaksud untuk memahami arti lahiriyyah dari satu kosa kata menurut tinjauan etimologis, bukan maksud si pembicara. Kalau arti tersebut tidak dipahaminya, maka ia harus segera memperhatikan seluruh pembicaraan dari awal hingga akhir”.[6]
 
C.    Macam-macam Munasabah
Munasabah atau persesuaian bagian Al-Qur’an yang satu dengan yang lain itu bisa bermacam-macam, jika dilihat dari berbagai seginya, baik dari segi sifat-sifat nya dan materinya.
1.     Sifat
Dilihat dari segi sifatnya terbagi menjadi dua, yaitu:
a.      Zahir Al-irtibath, yaitu persesuaian atau kaitan yang tampak jelas, karena kaitan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain erat sekali sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna bila dipisahkan dengan kalimat yang lainnya, seolah-olah ayat tersebut merupakan satu kesatuan yang sama. Misalnya dapat kita cermati ayat 1 dan ayat 2 surat Al-isra’

    سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير


Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil haram ke Al Masjidil aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Al-Isra’[17]:1

وَآتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِبَنِي إِسْرَائِيلَ أَلا تَتَّخِذُوا مِنْ دُونِي وَكِيلا

Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israel (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku, . (Al-Isra’[17]:2

Munasabah antara kedua ayat tersebut tampak jelas, yaitu bahwa kedua Nabi (Muhammad SAW dan Musa a.s) diangkat oleh Allah SWT sebagai Nabi dan Rasul, dan keduanya di isra’kan. Nabi Muhammad dari Masjid Haram ke Masjid Aqsa, sedangkan Nabi Musa dari Mesir ketika ia keluar dari negeri tersebut dalam keadaan ketakutan menuju Madyan.

b.     Khafiy Al-Irtibath, yaitu persesuaian atau kaitan yang samar antara ayat yang satu dengan ayat yang lain sehingga tidak tampak adanya hubungan antara keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing surah/ayat itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu di’athafkan kepada yang lain maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Misalnya dapat kita lihat surah Al-Baqarah ayat 189 dan 190:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ.

Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.”(Al-Baqarah[2]:189)

Ayat tesebut menerangkan bulan sabit / tanggal-tanggal untuk tanda-tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji.
Sedang ayat 190 surat Al-Baqarah berbunyi:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ      

Artinya:
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-Baqarah[2]:190)

               Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat islam. Sepintas antara kedua ayat tersebut tidak ada hubungannya atau hubungan yang satu dengan yang lainnya samar. Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 surat Al-Baqarah mengenai soal waktu untuk haji, seedang ayat 190 surat Al-Baqarah menerangkan : sebenarnya, waktu haji itu umat islam dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas walaupun pada musim haji.[7]
Contoh lain dari jenis munasabah ini dapat disimak dalam firman Allah :

افَلا يَنْظُرُونَ إِلَى الإبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ  وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ  وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ
  وَإِلَى الأرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan, Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?, Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Q.S. (8):17-20.

   Jika diperhatikan, ayat-ayat diatas sepertinya “terputus-putus”, tidak terkait satu dengan yang lain, padahal hakikatnya saling berkaitan. Penyebutan dan penggunaan kata unta, langit, gunung dan bumi pada ayat-ayat tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan yang berlaku dikalangan lawan bicara yan g tinggal dipadang pasir, dimana kehidupan mereka sangat bergantung pada ternak unta. Namun keadaan seperti itu tidak mungkin akan berlangsung kecuali bila ada air yang dapat menumbuhkan rumput ditempat mereka menggembala disamping air untuk minuman untanya. Kesemuanya ini akan dapat terjadi apabila hujan turun. Inilah yang menyebabkan wajah mereka selalu menengadah kelangit.  Selain itu mereka memerlukan tempat berlindung atau berteduh dibukit-bukit gunung. Selanjutnya mereka mencari rerumputan dan air dengan cara berpindah-pindah tempat dihamparan bumi yang luas. Disinilah letak keterkaitan antar ayat yang satu dengan ayat yang lain surat al-ghasyiah diatas. Dengan demikian, maka apabila penghuni padang pasir mendengar ayat-ayat tersebut mereka akan menyatu dengan apa yang mereka saksikan sendiri yang pada mulanya tidak pernah terbenak dalam bayang mereka. [8]

2.     Materi
      Ditinjau dari segi materinya, maka munasabah itu ada dua macam yaitu: munasabah antar ayat dan munasabah antar surat
a.      Munasabah antar ayat, yaitu munasabah atau persambungan antar yang satu dengan ayat yang lain. Munasabah ini bisa berbentuk persambungan-persambungan, meliputi:, pertama diathafkannya ayat yang satu pada ayat yang lain, kedua tidak di ‘athafkannya, ketiga digabungkannya dua hal yang sama, keempat dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi, kelima dipindahkannya satu pembicaraan ke pembicaraan lain. Munasabah antar ayat dapat dilihat misalnya antara ayat 2 dan ayat 3 surat Al-Baqarah :

ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa (Al-Baqarah[2]:2)

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَوَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ


(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka (Al-Baqarah[2]:3)

            Munasabah antar kedua ayat tersebut adalah ayat yang pertama menjelaskan peranan Al-Qur’an dan hakikatnya bagi orang-orang yang bertaqwa, sedangkan ayat kedua menjelaskan karaakteristik dari orang yang bertakwa.
Munasabah antar ayat mencakup beberapa bentuk yaitu:
1.     Munasabah antar nama surah dan tujuan turunnya
Setiap surah mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya masing-masing, seperti surat Al-Baqarah (2), dan surah yusuf (18), surah An-Naml (27), dan surah jinn(72). Seperti dapat dilihat pada firman Allah berikut:

Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".(Al-Baqarah[2]:67)

Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".(Al-Baqarah[2]:68)

Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya." (Al-Baqarah[2]:69)

Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." (Al-Baqarah[2]:70)

      Cerita yang ada pada ayat tersebut adalah tentang lembu  betina (Al-Baqarah) yang selanjutnya dijadikan nama surah, yaitu surah Al-Baqarah (surah kedua dalam Al-Qur’an). Cerita tersebut mengandung inti pembicaraan tentang kekuasaan Allah yang membangkitkan orang mati. Dengan perkataan lain, tujuan surah ini berkaitan dengan kekuasaan Tuhan dan keimanan pada hari kemudian,sedangkan salah satu bukti keimanan orang-orang dalam surah itu haryus ditunjukan dengan sikap taat dan melaksanakan perintah Allah dengan ikhlas melalui Rasul Nya, yaitu Musa antara lain dengan penyembelihan sapi.

2.     Munasabah antar bagian surah
Munasabah antar bagian surah (ayat atau beberapa ayat) sering berbentuk korelasi al-tadhaadadh (perlawanan) seperti terlihat pada firman Allah berikutini :

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (Al-Hadid[57]:4)

      Pada ayat tersebut pada ayat tersebut tedapat kata ”yaliju”  (masuk) dan kata “yakhruju”  (keluar), serta kata “yanzilu”  (turun) dan kata “ya’ruju” (naik) yang memiliki korelasi berlawanan. Contoh lainnya adalah kata Al-‘adzab dan Ar-rahmah dan janji baik setelah ancaman.

3.     Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan
      Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jela, tetapi sering pula tidak jelas. Munasanah antar ayat yang terlihat jelas umumnya menggunakan pola ta’kid (penguatan), tafsir (penjelasan), i’tiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan).
Munasabah antar ayat yang mengguinakan pola ta’kid,yaitu apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak disampingnya. Mislanya pada firman Allah :

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (Al-Fatihah[1]:1)

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (Al-Fatihah[1]:2)

      Ungkapan Rabb al’alamin pada ayat kedua memperkuat kata Al-Rahman pada ayat pertama.
Munasabah antar ayat menggunakan pola tafsir apabila makna ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan oleh ayat atau bagian ayat disampingnya. Misalnya pada firman Allah:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa (Al-Baqarah[2]:2)

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَوَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka (Al-Baqarah[2]:3)

وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَمِنْ قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ

Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat (Al-Baqarah[2]:4)

      Kata “Muttaqin” pada  ayat diatas ditafsirkan maknanya oleh ayat ketiga dan keempat. Dengan demikian, orang yang bertaqwa adalah orang-orang yang mengimani hal-hal ghaib, mengerjakan sholat, menafkahkan sebagian rezki, beriman kepada Al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya. Munasabah antar ayat menggunakan pola i’tiraddh apabila terdapat satu kalimat atau lebih yang tidak ada kedudukannya dalam i’rab (struktur kalimat), baik pertengahan kalimat atau diantara dua kalimat yang berhubungan dengan maknanya. Misalnya pada firman Allah:

وَيَجْعَلُونَ لِلَّهِ الْبَنَاتِ سُبْحَانَهُ وَلَهُمْ مَايَشْتَهُونَ

Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki).(An-Nahl[16]:57)

      Kata “subhanahu”  pada ayat diatas merupakan bentuk i’tiradh dari dua ayat yang mengantarnya. Kata itu merupakan bantahan bagi klaim orang-orang  kafir yang menetapkan anak perempuan bagi Allah.

4.     Munasabah antara satu kelompok ayat dengan kelompok ayat ayat disampingnya.
      Dalam surah Al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah memulai penjelasannya tentang kebenaran dan fungsi Al-Qur’an bagi orang-orang bertaqwa. Dalam kelompok ayat berikutnya dibicarakan tentang tiga kelompok manusia dan sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafiq.
5.     Munasabah antara fashilah dan isi ayat.
Munasabah ini mengandung tujuan tertentu. Diantaranya menetapkan (tamkin) makna yang terkandung dalam ayat. Misalnya:

إِنَّكَ لا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ

Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang (An-Naml[27]:80)

Kalimat idza wallau mudbirin merupakan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli.
6.     Munasabah antara awal dengan akhir surah yang sama.
      Munasabah ini arti bahwa awal suatu surah menjelaskan pokok pikiran tertentu, lalu pokok pikiran ini dikuatkan kembali diakhir surah ini. Misalnya terdapat pada surah Al-Hasyr. Munasabah ini terletak dari sisi kesamaan kondisi, yaitu segala yang ada baik dilangit maupun dibumi menyucikan Allah sang pencipta keduanya.

سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِيالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Al-Hasyr[59]:1)

هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Hasyr[59]:24)[9]

b.     Munasabah antar surah
            Munasabah antar surah yaitu munasabah atau persambungan antara surah yang satu dengan surah yang lain. Munasabah kedua ini ada beberapa bentuk, sebagai berikut:
1.     Munasabah antar dua surah dalam soal materinya, yaitu materi surah yang satu sama dengan materi surah yang lain.
Contohnya, seperti surah kedua, Al-Baqarah sama dengan isi surah yang pertama, Al-Fatihah. Keduanya sama-sama menerangkan 3 hal kandungan Al-Qur’an yaitu masalah akidah, ibadah, muamalah, kisah, janji dan ancaman. Dalam surah Al-Fatihah semua itu diterangkan secara ringkas, sedang dalam surah Al-Baqarah dijelaskan dan dirinci secara panjang lebar.

2.     Persesuaian antara permulaan surah dengan penutupan surah sebelumnya. Sebab, semua pembukaan surah itu erat sekali kaitannya dengan akhiran dari surah sebelumnya, sekalipun sudah dipisahkan dengan basmalah.
Contohnya seperti awalan dari surah Al-An’am yang berbunyi:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ

Artinya:
“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi”
Awalan dari surah Al-An’am tersebut sesuai dengan akhiran surah Al-Ma’idah yang berbunyi:

لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا فِيهِنَّ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya:
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Dan seperti awalan surah Al-Hadid yang berbunyi:

سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ َ

Artinya:
“Semua yang berada dilangit dan dibumi.”

Awalan surah Al-Hadid tersebut sesuai dengan akhiran surah Al-Waqi’ah:

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ

Artinya:
“maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Maha Besar”

3.     Persesuaian antara pembukaan dan akhiran sesuatu surah. Sebab, semua ayat dari sesuatu surah dari awal sampai akhir itu selalu bersambungan dan bersesuaian.
Contohnya seperti persesuaian antara awal surah Al-Baqarah:

الم. ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

Artinya:
“Alif Laam Miim, Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”
 Awal surah Al-Baqarah tersebut sesuai dengan akhirannya yang memerintahkan supaya berdoa agar tidak disiksa, bila lupaatau bersalah:

وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Artinya:
“Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".

Dan persesuaian antara awal surah Al-Mukminun قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ yang menjanjikan orang yang beriman itu akan berbahagia, dengan akkhiran surah tersebut: إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ  yang menegaskan bahwa orang-orang yang tidak beriman itu tidak akan bahagia.[10]

D.    Faedah ilmu munasabah
            Faedah mempelajari ilmu munasabah ini banyak, antaranya sebagai berikut:
a.      Mengetahui persambungan / hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan ppengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatanya. Karena itu, Izzudin Abd. Salam mengatakan, bahwa ilmu munasabah itu adalah ilmu yang baik sekali. Ketika menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain, beliau mensyaratkan harus jatuh pada hal-hal yang berkaitan betul-betul baik diawal ataupun diakhirnya.
b.     Dengan ilmu munasabah itu, dapat diketahui mutu dan tingkat kebalaghahan bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimat nya yang satu dengan yang lain, serta persesuaian ayat/ surah nya yang satu dari yang lain, sehingga lebih meyakinkan kemukjizatannya, nahwa Al-Qur’an itu betul-betul wahyu dari Allah SWT, dan bukan buatan Nabi Muhammad SAW. Karena itu Imam Fakhruddin Ar-Razi mengatakan, bahwa kebanyakan keindahan-keindahan Al-Qur’an itu terletak pada susunan dan persesuaian nya,sedangkan susunan kalimat yang paling baligh (bersastra) adalah yang saling berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
c.      Dengan ilmu munasabah akan sangat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, setelah diketahui hubungan sesuatu kalimat / sesuatu ayat dengan kalimat / ayat lain, sehingga sangat mempermudah pengistimbathan hukum-hukum atau isi kandungannya. [11]

E.     KESIMPULAN
            Ilmu Munasabah adalah ilmu yang mempelajari persesuaian dalam Al-Qur’an baik persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat yang lain, ataupun antara surah yang satu dengan surah yang lain.
            Munasabah berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi dua yaitu : dzahirul irtibath (persesuaian yang tampak), dan kafiyul irtibath (persesuaian yang tidak nampak jelas). Sedangkan berdasarkan materinya dibedakan menjadi munasabah antar ayat dan munasabah antar surah didalam Al-Qur’an.
F.     PENUTUP
            Demikianlah makalah yang dapatsaya paparkan tentang munasabah Al-Qur’an, semoga dapat bermanfaat.
            Tentunya makalah ini tidak terlepas dari kesalahan maupun kekurangan dalam materi, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat say butuhkan demi perbaikan makalah yang selanjutnya



DAFTAR PUSTAKA
·       Usman, Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2009
·       Djalal, Abdul, ‘Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2008
·       Hermawan, Acep, Ulumul Quran, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011






[1] Acep Hermawan, M.Ag, ‘Ulumul Qur’an, (Bandung:, PT.Remaja Rosadakarya, 2011), hal.122
[2] http://fzil.wordpress.com/2012/05/03/munasabah-alquran/
[3] Dr. Usman, M.Ag, Ulumul Quran, (Yogyakarta:penerbit Teras, 2009), hal.162
[4] Ibid.hal.163
[5] Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, Ulumul Quran, (Surabaya, Dunia Ilmu, 1998),hal.
[6]
[7] Acep Hermawan, M.Ag, op.cit hal.125-126
[8] Dr. Usman, M.Ag, op.cit hal.179-180
[9] Acep Hermawan, M.Ag, op.cit hal.126-131
[10] Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, hal.161-164
[11] Prof. Dr. H. Abdul Djalal , op.cit hal.164-165

0 komentar :

Posting Komentar